Kurikulum merupakan salah satu topik pembicaraan yang selalu menjadi tren di kalangan orang-orang yang “bersentuhan” dengan dunia pendidikan. Bagaimana tidak, kurikulum ini ramai-ramai didiskusikan, dikupas, diseminarkan, diworkshopkan, sehingga seolah-olah tidak satu jengkal pun tentang kurikulum yang terlewatkan dibahas dalam berbagai forum. Semestinya setelah “dikuliti” dari berbagai sisi, wujud si kurikulum ini semakin jelas. Tapi nyatanya, “jauh panggang dari api”, banyak dari para guru yang merupakan ujung tombak pelaksana kurikulum ini masih merasa bingung, tidak mengerti, bahkan “keder”, ketika ditanya bagaimana aplikasi kurikulum di kelas? Kalau seperti ini kenyataannnya di lapangan, berarti ada yang harus dilakukan guna menjembatani kesenjangan pemahaman konsep kurikulum antara pihak perumus kurikulum dengan guru sebagai eksekutor kurikulum tersebut.
Apa pun kenyataannya kini, sebagai pendidik, tentunya guru tidak boleh bersikap pesimis, yang lebih bijak adalah terus meningkatkan kualitas diri. Setiap ada perubahan, pasti di awal perubahan itu akan menimbulkan keresahan terutama pada pihak-pihak yang terlibat langsung dari perubahan itu. Yang perlu dipahami bersama adalah, perubahan kurikulum terjadi karena kurikulum lama dianggap tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Sehingga perlu dirumuskan konsep kurikulum baru yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam tataran global.
Di tengah kebingungan dan kegalauan yang dialami guru menghadapi silih bergantinya kurikulum, muncul pertanyaan menggelitik, apa kewenangan guru dalam kurikulum ? Apakah guru hanya mengaplikasikan konsep yang semuanya sudah tertuang dalam kurikulum? Ataukah guru boleh berkreasi sesuai situasi dan kondisi kelas yang dihadapi? Atau bolehkah guru menyusun kurikulumnya sendiri yang disesuaikan dengan kondisi murid-muridnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, harus dikembalikan kepada peranan guru dalam pengembangan kurikulum. Ada dua macam pola pengembangan kurikulum, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.
Untuk pola pengembangan kurikulum yang sentralisasi, seorang guru tidak memiliki kewenangan dalam perancangan dan evaluasi kurikulum yang sifatnya makro. Rancangan kurikulum dan evaluasi kurikulum sudah dirumuskan oleh tim khusus yang terdiri dari para ahli. Pola pengembangan kurikulum berikutnya, yaitu desentralisasi. Kurikulum ini disusun oleh sekolah atau kelompok sekolah dalam suatu wilayah. Tentu saja pemberlakuannya pun hanya untuk wilayah tertentu. Umumnya dalam penyusunan kurikulum disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan sekolah atau wilayah yang bersangkutan. Kalau dikaitkan dengan kewenangan guru, dalam desentralisasi peran guru jauh lebih besar. Guru tidak hanya sebagai pengguna/pelaksana kurikulum, tetapi guru juga sebagai perencana, penyusun, dan evaluator. Karena sejak awal perencanaan kurikulum guru dilibatkan, maka dalam implementasi di kelas akan lebih mudah dan lancar.
Guru dan evaluasi pembelajaran merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dalam sebuah kegiatan pembelajaran yang didesain oleh seorang guru, tentunya perlu diukur sejauh mana keberhasilannya. Pengukuran atau penilaian kegiatan ini biasa disebut evaluasi. Sebagai subjek dalam evaluasi pembelajaran, guru harus bisa merancang evaluasi yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Bagi seorang guru, evaluasi pembelajaran ibarat sebuah cermin, baik dan buruknya kualitas pembelajaran yang telah dilakukan akan terlihat. Tergantung guru yang bersangkutan, apakah kekurangan yang terlihat akan diperbaiki atau dibiarkan.
Pada akhirnya, semua akan kembali kepada guru. Apapun kurikulumnya tentu tidak akan banyak artinya kalau sikap guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan kurikulum tersebut tidak mau berubah, tidak mau meningkatkan kualitas diri, merasa cukup dengan apa yang dimiliki. Kepiawaian guru dalam menerjemahkan kurikulum akan membuat pembelajaran menjadi menarik. Mendesain pembelajaran termasuk di dalamnya merancang evaluasi, menjadi paket kualifikasi yang harus dimiliki seorang guru.